Minggu, 26 Mei 2013
Sabtu, 18 Mei 2013


Video adalah salah satu bagian dari Post yang memberikan informasi
tambahan dengan lebih jelas lewat audio visual dan memberikan kesan
menarik bagi pengunjung blog. Di dalam Post ini, saya akan menjelaskan
kepada Anda langkah-langkah mengupload video.
Langkah-langkah memasukan video di Blog :
1. Masuk ke dashboard, klik "Buat enrti baru"
Langkah-langkah memasukan video di Blog :
1. Masuk ke dashboard, klik "Buat enrti baru"

2. Klik "Insert a video"

3. Pilih Upload --> klik "Pilih video untuk diunggah"

4. Pilih file video yang sudah Anda siapkan untuk di unggah --> klik "Open"

5. Setelah itu Klik "Unggah"

6. Tunggu sampai video selesai di upload.

7. Hasil video selesai di upload.

8. Agar video yang Anda Post memberikan informasi yang jelas, tuliskan
Judul Video dan berikan penjelasan tambahan tentang video tersebut.

9. Dan misalkan di perlukan penjelasan tambahan yang sangat panjang,
sertakan Link untuk memberi informasi tambahan. Setelah semua informasi
telah Anda masukan di dalam Post, klik "Publikasikan"

10. Sekarang untuk melihat hasilnya klik "Lihat blog"

11. Ini adalah hasilnya.

Anda bisa lihat hasilnya di sini.
Semua yang ada di atas adalah langkah-langkah memasukkan video di Blog. Masih ada banyak
hal yang Anda harus pelajari untuk mengembangkan tampilan dan isi Blog Anda.
Untuk langkah-langkah berikutnya, Anda dapat pelajari di Post saya
selanjutnya. Terima kasih telah mengunjungi Blog saya dan belajar di
Blog Saya.


Cracking adalah seni memodifikasi suatu program agar bekerja sesuai
keinginan kita. Bagi yang menguasai bahasa Assembly, dapat men-disassembly
file EXE dari sebuah aplikasi lalu mengedit kode hex tertentu serta
mengembalikannya ke bentuk exe seperti semula agar berjalan sesuai
keinginan. Teknik ini di kenal dengan nama Dead Listing.
Bagi kalangan pemula, bisa menggunakan teknik Fishing yakni teknik memancing sebuah serial number dari suatu aplikasi terbatas (trial version,) dengan bantuan sebuah software bernama SoftICE. SoftICE adalah jenis software debbuger yang digunakan untuk melakukan disassembly suatu program pada saat program itu dijalankan.
Untuk system operasi Windows XP dan versi sebelumnya, bisa menggunakan Softice versi 4.2.7 yang bisa di download di sini.
KONFIGURASI SOFTICE
Proses instalasi Softice tidaklah sulit, sama seperti instalasi program pada umumnya. Hanya saja, Untuk mengkonfigurasi SoftICE pada sistem PC, terdapat 5 pilihan, semuanya tergantung kebutuhan kita. Yakni Boot, Softice berjalan sebelum menjalankan Windows. System, berjalan berbarengan dengan Windows. Automatic, Softice berjalan otomatis namun, tidak semua debug driver aktif. Manual, menjalankan Softice secara manual dan yang terakhir Disable, menonaktifkan Softice pada setiap startup Windows.
Setelah proses instalasi selesai, lakukan modifikasi salah satu file SoftICE yaitu winice.dat untuk mempermudah inisialisasi simbol pada saat di-load.
Caranya, cari winice.dat. biasanya, ada di C:/Program Files/ NuMega/. Lalu buka dengan Notepad. Hilangkan tanda titik koma (;) di depan setiap perintah EXP. Ganti nilai PHYSMB dengan kapasitas RAM yang ada di computer. Setelah selesai, klik ‘Save’ dan restart computer agar perubahan bisa berdampak.
SoftICE berjalan otomatis di belakang sistem operasi, maka untuk memunculkannya di layar monitor, tekan tombol Ctrl+D pada keyboard secara bersamaan. Demikian pula pada saat anda ingin menutupnya ke belakang layar.
MEMULAI CRACKING
1. Buka Program Trial Version
Buka program trial version yang ingin di crack lalu klik ‘Enter Registration Code’. Masukan informasi ‘Name’ dan ‘Registration’ Sesuka anda (jangan tekan ENTER dulu). Tampilkan Softice dengan menekan CTRL-D, pasang breakpoint dengan mengetik di command prompt line : BPX Getdlgitemtexta, lalu
Muncul window SoftICE di layar monitor. SoftICE kemudian menampilkan kode dialognya. Tekan F12 dua kali dan lihat nilai register EAX apakah bernilai 6. Nilai ini adalah banyaknya karakter yang anda masukkan pada Registration. Jika yang diketik sebanyak 4 karakter, maka EAX akan bernilai 4.
Tekan F10 sebanyak 10 kali dan berhenti pada CALL 004079D5 karena di bawahnya ada TEST EAX,EAX yang artinya membandingkan nilai EAX yang anda ketik dengan EAX yang dibuat di dalam CALL 004079D5 di atasnya. Sekarang tekan F8 sekali.
2. Mencari Registration Code
Tekan F10 sebanyak 58 kali sampai register EAX berwarna biru dan anda berhenti di PUSH ESI setelah LEA EAX, [EBP-0140]. Sekarang ketik d eax (disvalid registration# yang anda masukkan sebelumnya) dan tekan.
Lihat bagian kanan, terdapat Registration code yang dihasilkan oleh CALL 004079D5 yang sesuai dengan nama yang anda masukkan. Lalu ketik bc * dan tekan Enter..
3. Tes Registration Code
Buka program Trial Versionnya. Jika ada pesan error kita lewati. Pada kolom Name ketik sesuai yang kita masukkan pertama. Demikian pula dengan masukan pada kolom Registration#. Lalu klik OK. Sekarang anda bisa menikmatinya sebagai full version.
Menggunakan secara pribadi software hasil crack, masih bisa di maafkan. Tapi mengkomersilkannya untuk meraup untung adalah bagian dari kejahatan.
Bagi kalangan pemula, bisa menggunakan teknik Fishing yakni teknik memancing sebuah serial number dari suatu aplikasi terbatas (trial version,) dengan bantuan sebuah software bernama SoftICE. SoftICE adalah jenis software debbuger yang digunakan untuk melakukan disassembly suatu program pada saat program itu dijalankan.
Untuk system operasi Windows XP dan versi sebelumnya, bisa menggunakan Softice versi 4.2.7 yang bisa di download di sini.
KONFIGURASI SOFTICE
Proses instalasi Softice tidaklah sulit, sama seperti instalasi program pada umumnya. Hanya saja, Untuk mengkonfigurasi SoftICE pada sistem PC, terdapat 5 pilihan, semuanya tergantung kebutuhan kita. Yakni Boot, Softice berjalan sebelum menjalankan Windows. System, berjalan berbarengan dengan Windows. Automatic, Softice berjalan otomatis namun, tidak semua debug driver aktif. Manual, menjalankan Softice secara manual dan yang terakhir Disable, menonaktifkan Softice pada setiap startup Windows.
Setelah proses instalasi selesai, lakukan modifikasi salah satu file SoftICE yaitu winice.dat untuk mempermudah inisialisasi simbol pada saat di-load.
Caranya, cari winice.dat. biasanya, ada di C:/Program Files/ NuMega/. Lalu buka dengan Notepad. Hilangkan tanda titik koma (;) di depan setiap perintah EXP. Ganti nilai PHYSMB dengan kapasitas RAM yang ada di computer. Setelah selesai, klik ‘Save’ dan restart computer agar perubahan bisa berdampak.
SoftICE berjalan otomatis di belakang sistem operasi, maka untuk memunculkannya di layar monitor, tekan tombol Ctrl+D pada keyboard secara bersamaan. Demikian pula pada saat anda ingin menutupnya ke belakang layar.
MEMULAI CRACKING
1. Buka Program Trial Version
Buka program trial version yang ingin di crack lalu klik ‘Enter Registration Code’. Masukan informasi ‘Name’ dan ‘Registration’ Sesuka anda (jangan tekan ENTER dulu). Tampilkan Softice dengan menekan CTRL-D, pasang breakpoint dengan mengetik di command prompt line : BPX Getdlgitemtexta, lalu
Muncul window SoftICE di layar monitor. SoftICE kemudian menampilkan kode dialognya. Tekan F12 dua kali dan lihat nilai register EAX apakah bernilai 6. Nilai ini adalah banyaknya karakter yang anda masukkan pada Registration. Jika yang diketik sebanyak 4 karakter, maka EAX akan bernilai 4.
Tekan F10 sebanyak 10 kali dan berhenti pada CALL 004079D5 karena di bawahnya ada TEST EAX,EAX yang artinya membandingkan nilai EAX yang anda ketik dengan EAX yang dibuat di dalam CALL 004079D5 di atasnya. Sekarang tekan F8 sekali.
2. Mencari Registration Code
Tekan F10 sebanyak 58 kali sampai register EAX berwarna biru dan anda berhenti di PUSH ESI setelah LEA EAX, [EBP-0140]. Sekarang ketik d eax (disvalid registration# yang anda masukkan sebelumnya) dan tekan
Lihat bagian kanan, terdapat Registration code yang dihasilkan oleh CALL 004079D5 yang sesuai dengan nama yang anda masukkan. Lalu ketik bc * dan tekan Enter.
3. Tes Registration Code
Buka program Trial Versionnya. Jika ada pesan error kita lewati. Pada kolom Name ketik sesuai yang kita masukkan pertama. Demikian pula dengan masukan pada kolom Registration#. Lalu klik OK. Sekarang anda bisa menikmatinya sebagai full version.
Menggunakan secara pribadi software hasil crack, masih bisa di maafkan. Tapi mengkomersilkannya untuk meraup untung adalah bagian dari kejahatan.


LANGKAH-LANGKAH INSTALASI OPERATING SISTEM WINDOWS XP
(Oleh: Kardi Hartono)
Komputer yang telah kita rakit belumlah bisa digunakan untuk aktifitas bekerja layaknya komputer yang kita temui di kantor-kantor atau rumah, Untuk itulah dibutuhkan Operating System atau Sistem Operasi yang menghubungkan manusia dengan peripheral komputer tersebut, komputer tanpa operating sistem tidak bisa digunakan, ibarat anda punya hape tetapi tidak ada sistem operasi, perlu digarisbawahi atau dicetaktebalkan, sistem operasi bukanlah merupakan suatu software, jadi sistem operasi =/= software. Lalu apa bedanya ? sebuah software membutuhkan sistem operasi, sistem operasi ini yang menjembatani antara software dengan hardware. Nah sistem operasi di sini yang familiar adalah Microsoft Windows. Windows bukanlah salah satu sistem operasi, ada banyak sistem operasi lain seperti Linux, Sun Microsystem. Mac OS, Symbhian. Sistem operasi diibaratkan sebagai body sebuah mobil, sedang mesinnya adalah hardware-hardware, nah kalo kita ikut menumpang kitalah softwarenya.1. Siapkan CD Master Microsoft Windows XP.



Masuklah ke menu BIOS untuk mencari fasilitas boot pertama kali lewat CD/DV ROM. Tergantung BIOS yang ada, bisa menekan tombol DEL /ESC/F1 berulang-ulang saat pertama kali komputer di hidupkan.

Sebagai contoh ini adalah Award BIOS,
pada gambar yang dilingkari ubahlah menjadi CD/DVD, jika sudah simpan
perubahan tersebut dengan menekan F10, setelah itu simpan setting
tersebut dan keluar.
Proses booting akan mendeteksi CD/DVD dahulu, jika benar maka akan muncul proses instalasi Microsoft Windows ( selanjutnya disebut saja dengan Windows ). Tekan sembarang tombol untuk memasuki proses instalasi Windows.
Proses booting akan mendeteksi CD/DVD dahulu, jika benar maka akan muncul proses instalasi Microsoft Windows ( selanjutnya disebut saja dengan Windows ). Tekan sembarang tombol untuk memasuki proses instalasi Windows.

1. CD Windows XP akan dibaca, dan akan
keluar keterangan yang membingungkan di bawahnya, itu adalah indikasi
bawah Windows sedang meload file-file tertentu untuk proses instalasi.

2. Jika Windows sudah selesai membaca file-file tersebut maka akan muncul tampilan “Welcome Setup“ berikut

a. To set up Windows XP now, press ENTER
Maksudnya kita kita memulai melakukan instalasi Windows, maka cukup menekan tombol ENTER
b. To repair a Windows X installation using Recovery Console, press R
Maksudnya bahwa untuk recovery Windows jika terjadi masalah sistem tetapi ini jika kita sudah menginstall Windows terlebih dahulu
c. To quit Setup without installaion Windows XP, press F3
Tujuannya adalah membatalkan proses instalasi Windows.
3. Jika kita menekan ENTER maka kita akan menuju langkah selanjutnya yaitu persyaratan untuk tunduk pada Licensing Agreement, dan anda harus menjawabnya dengan menekan F8, jika tidak dijawab atau di tolak maka anda tidak akan dapat meneruskan proses instalasi, jika anda setuju terhadap persyaratan tersebut ( siapa pernah baca peraturan ? ) maka akan masuk tahap berikutnya.

4. Jika anda setuju sekarang saatnya
masuk ke proses pemilihan partisi hardisk, seandainya hardisk tersebut
masuk baru maka akan ada tampilan seperti ini

5. Proses formating hardisk

Anda bisa memilih tipe partisi, bisa
FAT atau NTFS. Jika pilihan sudah benar pilih salah satu dan tekan
enter, maka instalasi akan meneruskan ke tahap selanjutnya.

6. Proses selanjutnya akan secara otomatis meload file-file windows untuk dicopy ke dalam hardisk.

Proses instalasi selanjutnya akan dimulai dengan munculnya logo Windows


7. Setelah melewati tahap ini kita
diminta untuk memasukan parameter yang diminta dalam proses instalasi.
Regional and Language Options, adalah memasukan lokasi dan bahasa yang
digunakan, untuk bahasa Indonesia saat ini belum ada, kecuali dalam
Windows XP Starter Edition.

8. Tahap selanjutnya adalah memasukan nama dan perusahaan anda.

9. Memasukan 25 key yang ada di box atau cd

10. Proses selanjutnya memasukan
password sistem, password di sini bukan password saat kita masuk ke
Windows, tetapi password yang akan digunakan jika kita hendak
mereparasi windows atau masuk safe mode

11. Memasukan setting jam dan tanggal serta Time Zone

12. Setting network bisa anda abaikan dengan tekan typical saja

Sampai tahap ini kita akan menunggu
sampai Windows selesai melakukan instalasi, jika proses selesai Windows
akan melakukan restart atau booting ulang. Setelah booting ulang maka
Windows akan melakukan setting lagi bagi pengguna atau final setup,
setting terakhir dan Windows akan mulai bisa digunakan secara default.

Langkah selanjutnya bisa anda teruskan sendiri.








Selesai dengan tampilnya desktop Windows XP



Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pascal adalah bahasa pemrograman yang pertama kali di buat oleh Profesor Niklaus Wirth, seorang anggota International Federation of Information Processing (IFIP) pada tahun 1971. Dengan mengambil nama dari matematikawan Perancis, Blaise Pascal,
yang pertama kali menciptakan mesin penghitung, Profesor Niklaus Wirth
membuat bahasa Pascal ini sebagai alat bantu untuk mengajarkan konsep
pemrograman komputer
kepada mahasiswanya. Selain itu, Profesor Niklaus Wirth membuat Pascal
juga untuk melengkapi kekurangan-kekurangan bahasa pemrograman yang ada
pada saat itu.
Daftar isi[sembunyikan] |
Kelebihan [sunting]
Kelebihan dari bahasa pemrograman Pascal adalah:- Tipe Data Standar, tipe-tipe data standar yang telah tersedia pada kebanyakan bahasa pemrograman. Pascal memiliki tipe data standar: boolean, integer, real, char, string,
- User defined Data Types, programmer dapat membuat tipe data lain yang diturunkan dari tipe data standar.
- Strongly-typed, programmer harus menentukan tipe data dari suatu variabel, dan variabel tersebut tidak dapat dipergunakan untuk menyimpan tipe data selain dari format yang ditentukan.
- Terstruktur, memiliki sintaks yang memungkinkan penulisan program dipecah menjadi fungsi-fungsi kecil (procedure dan function) yang dapat dipergunakan berulang-ulang.
- Sederhana dan Ekspresif, memiliki struktur yang sederhana dan sangat mendekati bahasa manusia (bahasa Inggris) sehingga mudah dipelajari dan dipahami.
Tipe Data [sunting]
Dalam bahasa Pascal terdapat beberapa jenis tipe data yang bisa digunakan untuk sebuah variabel atau konstanta pada program. Tipe Data tersebut antara lain adalahTipe Data | Deskripsi (range variabel) |
---|---|
Byte | angka dari 0 sampai 255 |
Integer | angka dari -32768 to 32767 |
Real | semua nilai pecahan dari 1E-38 to 1E+38 |
Boolean | nilai TRUE atau FALSE |
Char | semua karakter dari tabel ASCII |
String | semua huruf, spasi, frasa |
Hello World [sunting]
Contoh program Hello World menggunakan bahasa pascal adalah sebagai berikut:Program HelloWorld; begin writeln('Hello world'); end.


Mencegah Infeksi Selama Masa Nifas
Share:

Luka-luka pascapersalinan harus dirawat dengan baik. Menjaga kebersihan pada bekas luka mutlak dilakukan.
Artikel Terkait:
* Selama masa kehamilan:
Supaya tidak terjadi infeksi pada masa nifas, saat hamil cegah jangan sampai terjadi anemia, malnutrisi, serta munculnya penyakit-penyakit yang diderita ibu. Sebaiknya juga tidak melakukan, mengurangi, atau melakukan dengan hati-hati hubungan seksual saat hamil tua karena bisa menyebabkan pecahnya ketuban dan menjadi jalan masuk kuman penyebab infeksi ke dalam jalan lahir.
* Waktu persalinan:
Dokter akan melakukan segala tindakan pertolongan persalinan dengan peralatan yang steril. Selain akan mencegah terjadinya perdarahan yang banyak, kalaupun terjadi, darah yang hilang akan diganti melalui transfusi darah.
* Masa nifas:
Luka-luka pascapersalinan harus dirawat dengan baik. Menjaga kebersihan pada bekas luka mutlak dilakukan. Alat-alat, pakaian, dan kain yang dikenakan ibu harus benar-benar dijaga kebersihannya. Hal lain yang juga harus diwaspadai selama masa nifas selain infeksi adalah terjadinya anemia. Bila ibu mengalami perdarahan yang sangat banyak, atau sudah terjadi anemia selama masa kehamilan, hal ini dikhawatirkan akan memengaruhi proses kontraksi pada rahim untuk kembali seperti semula. Ini terjadi karena darah tak cukup memberikan oksigen ke rahim. Bila anemia hanya ringan, maka untuk mengatasinya cukup dengan mengonsumsi makanan kaya zat besi. Namun bila kondisinya sangat parah, dokter akan melakukan transfusi darah.
Selain infeksi nifas, gangguan lain yang mungkin terjadi selama masa nifas adalah:
* Kelainan pada rahim.
Setelah melahirkan, rahim secara alami akan terus mengecil menuju ukuran semula. Kalau sesaat setelah melahirkan berat rahim sekitar 1.000 gr, maka 6 minggu kemudian akan mengecil menjadi 40-60 gr. Bila proses ini mengalami hambatan atau berlangsung kurang baik, maka gangguan itu disebut sub-involusi. Penyebabnya antara lain adanya infeksi (endometriosis), adanya bekuan-bekuan darah di rahim, dan sebagainya. Dokter akan memberikan pengobatan yang dianggap perlu. Bila terbukti masih ada sisa plasenta, dokter akan melakukan kuretase.
* Sindroma Sheehan.
Sindroma Sheehan adalah syok akibat perdarahan persalinan. Biasa terjadi bila ibu mengalami eklamsia. Pengobatan yang akan dilakukan dokter adalah dengan memberikan substitusi terapi hormonal.
* Gangguan pada payudara.
Gangguan lain yang juga terjadi selama masa nifas adalah keluhan payudara bengkak, keras, panas, dan nyeri. Bahkan pada beberapa kasus terjadi peradangan payudara yang disebabkan kuman Staphylococcus aureus yang masuk melalui luka pada puting atau peredaran darah. Gangguan ini disebut mastitis. Untuk mengurangi rasa sakit, ibu bisa mengompres payudara dan melakukan pengurutan ringan. Namun bila rasa sakit tak tertahan, segera ke dokter untuk mendapat pengananan berupa pemberian obat yang tepat.
Selasa, 14 Mei 2013


CODING :
Public Class Form1
Private Sub Form1_Load(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles MyBase.Load
BuatTabel()
NIK.Items.Add("001")
NIK.Items.Add("002")
NIK.Items.Add("003")
Jabatan.Items.Add("Mandor")
Jabatan.Items.Add("Kepala Bagian")
Jabatan.Items.Add("Staf")
Status.Items.Add("Menikah")
Status.Items.Add("Tidak Menikah")
End Sub
Sub
BuatTabel()
LV.Columns.Add("NIK",
80, HorizontalAlignment.Center)
LV.Columns.Add("Nama",
80, HorizontalAlignment.Center)
LV.Columns.Add("Jabatan",
100, HorizontalAlignment.Left)
LV.Columns.Add("Gaji",
80, HorizontalAlignment.Left)
LV.Columns.Add("Status",
100, HorizontalAlignment.Right)
LV.Columns.Add("Tunjangan",
80, HorizontalAlignment.Right)
LV.Columns.Add("Pajak",
80, HorizontalAlignment.Left)
LV.Columns.Add("Total",
80, HorizontalAlignment.Left)
LV.View = View.Details
LV.GridLines = True
LV.FullRowSelect = True
End Sub
Sub
IsiTabel()
Dim lst
As New
ListViewItem
lst.Text = NIK.Text
lst.SubItems.Add(Nama.Text)
lst.SubItems.Add(Jabatan.Text)
lst.SubItems.Add(Gaji.Text)
lst.SubItems.Add(Status.Text)
lst.SubItems.Add(Tunjangan.Text)
lst.SubItems.Add(Pajak.Text)
lst.SubItems.Add(Total.Text)
LV.Items.Add(lst)
End Sub
Private Sub Jabatan_SelectedIndexChanged(ByVal sender As
System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles
Jabatan.SelectedIndexChanged
Select Case Jabatan.Text
Case
"Mandor" : Gaji.Text = 1750000
Case
"Kepala Bagian" : Gaji.Text =
2500000
Case "Staf" : Gaji.Text = 1250000
End Select
Pajak.Text = 0.15 * Gaji.Text
End Sub
Private Sub NIK_SelectedIndexChanged(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles
NIK.SelectedIndexChanged
Select Case NIK.Text
Case
"001" : Nama.Text = "Oncom"
Case
"002" : Nama.Text = "Udin"
Case
"003" : Nama.Text = "Ujang"
End Select
End Sub
Private Sub Status_SelectedIndexChanged(ByVal sender As
System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles
Status.SelectedIndexChanged
Select Case Status.Text
Case
"Menikah" : Tunjangan.Text = 0.15
* Gaji.Text
Case
"Tidak Menikah" : Tunjangan.Text =
0
End Select
End Sub
Private Sub Btnkeluar_Click(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles Btnkeluar.Click
End
End Sub
Private Sub Btnproses_Click(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles Btnproses.Click
Total.Text = Val(Gaji.Text) +
Val(Tunjangan.Text) - Val(Pajak.Text)
End Sub
Private Sub Btnhapus_Click(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles Btnhapus.Click
NIK.Text = ""
Nama.Text = ""
Jabatan.Text = ""
Gaji.Text = ""
Status.Text = ""
Tunjangan.Text = ""
Total.Text = ""
Pajak.Text = ""
End Sub
Private Sub Btnsimpan_Click(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles Btnsimpan.Click
IsiTabel()
NIK.Text = ""
Nama.Text = ""
Jabatan.Text = ""
Gaji.Text = ""
Status.Text = ""
Tunjangan.Text = ""
Pajak.Text = ""
Total.Text = ""
End Sub
Private Sub Btnhapussemua_Click(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles Btnhapussemua.Click
LV.Items.Clear()
End Sub
Private Sub Btnhpuspilihan_Click(ByVal
sender As System.Object, ByVal e As
System.EventArgs) Handles Btnhpuspilihan.Click
LV.Items.Remove(LV.SelectedItems(0))
End Sub
End Class
DESAIN FORM :
Kamis, 02 Mei 2013


o Bastian: Aspirasi Anak Muda Lewat Film
Wawancara
28 Maret 2013 menjadi tanggal bersejarah bagi Vino Giovani Bastian. Dua film yang ia bintangi, Madre dan Tampan Tailor, beredar di hari yang sama. Sebelum kedua film itu, ada Mika yang
turut mencantumkan nama Vino sebagai bintang utamanya. Tiga film ini
seolah-olah menjadi silaturahmi Vino setelah hampir dua tahun absen dari
film bioskop.
Adalah 30 Hari Mencari Cinta (2003) yang memperkenalkan Vino ke penonton Indonesia. Kariernya kemudian identik dengan sosok-sosok anak muda pemberontak yang ia perankan dalam Catatan Akhir Sekolah (2004); Realita, Cinta, dan Rock n’ Roll (2005); Badai Pasti Berlalu (2007); Radit dan Jani (2008); Serigala Terakhir (2009), dan Punk in Love (2009). Dalam Madre dan Mika, laki-laki kelahiran 24 Maret 1982 ini kembali memainkan tokoh anak muda. Tapi bukan artinya Vino terjebak dalam peran itu-itu saja. Terlihat, dalam Tampan Tailor, Vino tampil beda dengan menjajal peran tukang jahit yang berusaha menghidupi anaknya di belantara kehidupan ibukota.
Kepada redaksi Film Indonesia, Vino bercerita tentang pengalamannya di Tampan Tailor dan Madre, kariernya, proses kreatifnya, rekan-rekan satu profesinya, krisis keaktoran di perfilman nasional, serta keinginannya untuk menyuarakan aspirasi anak muda lewat film.
Film Indonesia (FI): Untuk memerankan Tansen di film Madre, penampilan fisik Anda benar-benar dipermak: rambut jadi gimbal, kulit dibuat gelap, dan sebagainya. Untuk sosok Tansen sendiri, tokoh macam apa yang Anda ingin tunjukkan ke publik?
Vino Bastian (VB): Sebenarnya, Mas Benni [Setiawan] ingin Tansen lebih dikenal dari permukaannya saja. Di permukaan, Tansen terlihat mandiri dan bebas, kesannya dia bisa hidup di mana saja. Tansen sebenarnya bersembunyi di balik itu, untuk menutupi kalau dia kangen banget sama keluarga. Dia kehilangan, tidak punya keluarga, selalu gagal dalam percintaan. Setelah film berjalan menjelang akhir, baru dia menunjukkan kalau dia kangen, dan itu terlihat ketika ia melihat foto ibunya, padahal sebelumnya dia tak pernah mengaku punya keluarga. Mas Benni maunya layer yang satu ini jangan kelihatan sampai di belakang.
Sederhananya begini. Saat Tansen mau membuat roti, dia sebenarnya berpikir, “Ini bukan pekerjaan cowok banget, nih.” Namun, ketika pulang ke Bali, dia merasa ada yang hilang. Lalu dia merasa, bahwa kalau dia mengambil pekerjaan itu, hidupnya bisa lebih baik, tapi dia gengsi untuk bilang. Apalagi bilang sama orang yang belum dia kenal. Nah, ini yang harus saya tutupi dulu, bermain di permukaan dulu. Sampai ketika di belakang, orang tahu bahwa ternyata sosok yang kelihatan kuat tadi, cuma di permukaan saja. Padahal sebenarnya, dalamnya dia tuh hancur.
FI: Tansen sudah populer terlebih dahulu sebagai tokoh dalam buku Madre. Cerita ini pun pembacanya cukup banyak. Seberapa banyak sosok Tansen dalam buku yang Anda ikuti? Apakah Anda terbebani untuk memenuhi harapan pembaca terhadap sosok Tansen?
VB: Kebetulan, saya juga pembaca Madre. Setiap pembaca buku punya imajinasinya sendiri; mereka berhak menilai Tansen seperti yang mereka inginkan. Saya pun berhak dong menilai Tansen dengan tafsir saya sendiri. Sewaktu latihan naskah, Mas Benni minta saya untuk memerankan Tansen dalam berbagai versi. Jadinya, selama seminggu pertama, kami coba ‘cari’ Tansen seperti apa yang kami mau.
Awalnya, sosok Tansen ini cool, kalem, sedikit bicara. Ketika coba dikolaborasikan dengan tokoh lain, bentukan tokoh Tansen macam ini malah mati jadinya. Mas Benni pun minta saya untuk mencari Tansen yang berbeda. Kalau tidak salah, ada sampai tiga kali Tansen berubah karakternya. Ada yang Tansen jadi komedi banget, gila banget, tapi jadi mental sendiri dengan tokoh-tokoh di sekelilingnya. Akhirnya, yang kita sepakati adalah Tansen yang saya jelaskan tadi, yang awalnya di permukaan terus pelan-pelan terbuka itu tadi. Tentu terbukanya karena ada sosok Mei dan Pak Hadi. Jadi, mereka yang menyerang Tansen sehingga dia menjadi dirinya yang sebenarnya.
Dalam bukunya sendiri, ketika Tansen berceloteh, tiba-tiba meledak. Nah, di sini, Mas Benni juga maunya seperti itu, tapi Mas Benni punya karakter sendiri dalam menyutradarai. Dia seneng banget sama komedi yang agak slapstick. Itu karakter sutradaranya. Kalau Madre ini disutradarai oleh sutradara lain, mungkin nggak akan seperti ini. Tapi inilah Madre ala Benni Setiawan.
Saya ikut casting untuk main di Madre. Banyak aktor lain yang pasti punya tafsir mereka sendiri tentang Tansen. Mungkin yang paling dekat dengan bayangannya Mas Benni adalah apa yang saya tawarkan. Semua ada diskusinya. Misalnya, Tansen harus berbicara seperti apa? Saya pun diskusi sama Mbak Dewi Lestari. Apakah bahasanya Sunda? apakah dengan logat Bali karena lama di Bali, atau apakah dia orang kota? Dia jawab, Tansen bisa semuanya, bisa masuk ke mana saja. Maksudnya, kalau dia ketemu orang Sunda, dia bisa akrab. Ketika dia di Bali dan ketemu orang lain, dia juga bisa akrab.
Vino Bastian sebagai Tansen dalam Madre
FI: Melihat film-film yang Anda perankan, sebagian besar peran Anda menjadi sosok bad boy, tetapi di sisi lain juga sosok yang melankolis. Apakah ini ikon yang coba Anda ciptakan?
VB: Saya sebenarnya tidak tahu kalau jadinya malah begitu. Kalau di kehidupan nyata, saya tidak seurakan itu, tidak semelodramatis itu juga. Mungkin setiap aktor punya karakternya masing-masing ya. Al Pacino, Robert de Niro, Daniel Day Lewis. Kalau mereka main, kita bisa bilang “Ini nih Al Pacino” atau “Ini De Niro banget”. Perannya bisa apa saja, tapi karakter mereka tetap terlihat. Tanpa saya sadari, saya mungkin melakukan hal serupa. Tapi saya tidak bilang kalau selama ini saya sudah berhasil menjalani peran-peran yang saya terima. Ada yang menghujat, ada pula yang mengkritik. Semuanya jadi masukan yang berarti buat saya. Selalu ada perbaikan. Setiap film menjadi pelajaran tersendiri buat saya.

Adalah 30 Hari Mencari Cinta (2003) yang memperkenalkan Vino ke penonton Indonesia. Kariernya kemudian identik dengan sosok-sosok anak muda pemberontak yang ia perankan dalam Catatan Akhir Sekolah (2004); Realita, Cinta, dan Rock n’ Roll (2005); Badai Pasti Berlalu (2007); Radit dan Jani (2008); Serigala Terakhir (2009), dan Punk in Love (2009). Dalam Madre dan Mika, laki-laki kelahiran 24 Maret 1982 ini kembali memainkan tokoh anak muda. Tapi bukan artinya Vino terjebak dalam peran itu-itu saja. Terlihat, dalam Tampan Tailor, Vino tampil beda dengan menjajal peran tukang jahit yang berusaha menghidupi anaknya di belantara kehidupan ibukota.
Kepada redaksi Film Indonesia, Vino bercerita tentang pengalamannya di Tampan Tailor dan Madre, kariernya, proses kreatifnya, rekan-rekan satu profesinya, krisis keaktoran di perfilman nasional, serta keinginannya untuk menyuarakan aspirasi anak muda lewat film.
Film Indonesia (FI): Untuk memerankan Tansen di film Madre, penampilan fisik Anda benar-benar dipermak: rambut jadi gimbal, kulit dibuat gelap, dan sebagainya. Untuk sosok Tansen sendiri, tokoh macam apa yang Anda ingin tunjukkan ke publik?
Vino Bastian (VB): Sebenarnya, Mas Benni [Setiawan] ingin Tansen lebih dikenal dari permukaannya saja. Di permukaan, Tansen terlihat mandiri dan bebas, kesannya dia bisa hidup di mana saja. Tansen sebenarnya bersembunyi di balik itu, untuk menutupi kalau dia kangen banget sama keluarga. Dia kehilangan, tidak punya keluarga, selalu gagal dalam percintaan. Setelah film berjalan menjelang akhir, baru dia menunjukkan kalau dia kangen, dan itu terlihat ketika ia melihat foto ibunya, padahal sebelumnya dia tak pernah mengaku punya keluarga. Mas Benni maunya layer yang satu ini jangan kelihatan sampai di belakang.
Sederhananya begini. Saat Tansen mau membuat roti, dia sebenarnya berpikir, “Ini bukan pekerjaan cowok banget, nih.” Namun, ketika pulang ke Bali, dia merasa ada yang hilang. Lalu dia merasa, bahwa kalau dia mengambil pekerjaan itu, hidupnya bisa lebih baik, tapi dia gengsi untuk bilang. Apalagi bilang sama orang yang belum dia kenal. Nah, ini yang harus saya tutupi dulu, bermain di permukaan dulu. Sampai ketika di belakang, orang tahu bahwa ternyata sosok yang kelihatan kuat tadi, cuma di permukaan saja. Padahal sebenarnya, dalamnya dia tuh hancur.
FI: Tansen sudah populer terlebih dahulu sebagai tokoh dalam buku Madre. Cerita ini pun pembacanya cukup banyak. Seberapa banyak sosok Tansen dalam buku yang Anda ikuti? Apakah Anda terbebani untuk memenuhi harapan pembaca terhadap sosok Tansen?
VB: Kebetulan, saya juga pembaca Madre. Setiap pembaca buku punya imajinasinya sendiri; mereka berhak menilai Tansen seperti yang mereka inginkan. Saya pun berhak dong menilai Tansen dengan tafsir saya sendiri. Sewaktu latihan naskah, Mas Benni minta saya untuk memerankan Tansen dalam berbagai versi. Jadinya, selama seminggu pertama, kami coba ‘cari’ Tansen seperti apa yang kami mau.
Awalnya, sosok Tansen ini cool, kalem, sedikit bicara. Ketika coba dikolaborasikan dengan tokoh lain, bentukan tokoh Tansen macam ini malah mati jadinya. Mas Benni pun minta saya untuk mencari Tansen yang berbeda. Kalau tidak salah, ada sampai tiga kali Tansen berubah karakternya. Ada yang Tansen jadi komedi banget, gila banget, tapi jadi mental sendiri dengan tokoh-tokoh di sekelilingnya. Akhirnya, yang kita sepakati adalah Tansen yang saya jelaskan tadi, yang awalnya di permukaan terus pelan-pelan terbuka itu tadi. Tentu terbukanya karena ada sosok Mei dan Pak Hadi. Jadi, mereka yang menyerang Tansen sehingga dia menjadi dirinya yang sebenarnya.
Dalam bukunya sendiri, ketika Tansen berceloteh, tiba-tiba meledak. Nah, di sini, Mas Benni juga maunya seperti itu, tapi Mas Benni punya karakter sendiri dalam menyutradarai. Dia seneng banget sama komedi yang agak slapstick. Itu karakter sutradaranya. Kalau Madre ini disutradarai oleh sutradara lain, mungkin nggak akan seperti ini. Tapi inilah Madre ala Benni Setiawan.
Saya ikut casting untuk main di Madre. Banyak aktor lain yang pasti punya tafsir mereka sendiri tentang Tansen. Mungkin yang paling dekat dengan bayangannya Mas Benni adalah apa yang saya tawarkan. Semua ada diskusinya. Misalnya, Tansen harus berbicara seperti apa? Saya pun diskusi sama Mbak Dewi Lestari. Apakah bahasanya Sunda? apakah dengan logat Bali karena lama di Bali, atau apakah dia orang kota? Dia jawab, Tansen bisa semuanya, bisa masuk ke mana saja. Maksudnya, kalau dia ketemu orang Sunda, dia bisa akrab. Ketika dia di Bali dan ketemu orang lain, dia juga bisa akrab.

VB: Saya sebenarnya tidak tahu kalau jadinya malah begitu. Kalau di kehidupan nyata, saya tidak seurakan itu, tidak semelodramatis itu juga. Mungkin setiap aktor punya karakternya masing-masing ya. Al Pacino, Robert de Niro, Daniel Day Lewis. Kalau mereka main, kita bisa bilang “Ini nih Al Pacino” atau “Ini De Niro banget”. Perannya bisa apa saja, tapi karakter mereka tetap terlihat. Tanpa saya sadari, saya mungkin melakukan hal serupa. Tapi saya tidak bilang kalau selama ini saya sudah berhasil menjalani peran-peran yang saya terima. Ada yang menghujat, ada pula yang mengkritik. Semuanya jadi masukan yang berarti buat saya. Selalu ada perbaikan. Setiap film menjadi pelajaran tersendiri buat saya.
Saya
pun ingin berproses, ingin keluar dari karakter tertentu, ingin mencoba
karakter lain. Saya harus terus menggali. Namun, ketika saya menawarkan
apa yang telah saya pelajari, ada yang harus disesuaikan dengan
imajinasi sutradara. Sutradara juga punya batasan: tidak boleh keluar
dari sini, sini, dan sini. Aktor harus masuk ke lingkup yang sutradara
sudah buat. Kalau mau improvisasi, terserah saja, tapi tidak boleh
keluar dari lingkup yang sudah dibangun sutradara. Selama bisa diterima
dan sesuai dengan keinginan sutradara, saya lakukan dan kembangkan.
Kalau tidak, ya saya ubah lagi.
FI: Apakah peran menjadi bapak di Tampan Tailor jadi salah satu upaya untuk melepaskan dari sosok bad boy tadi?
VB: Kalau yang di Tampan Tailor, itu karakter yang memang harus saya ciptakan sendiri ya. Kalau di Madre, kalau kita baca bukunya, Tansen memang seperti itu. Dia sudah ada benang merah ceritanya. Jadi, saya tak bisa terlalu banyak berimprovisasi terhadap Tansen.
Tampan Tailor jadi makin menarik, karena Jefan [Nathanio] belum pernah main film sebelumnya. Saya juga belum punya anak, sedangkan di film ini si anak sudah berusia enam tahun. Otomatis, kami harus menceritakan dan menjelaskan hubungan bapak-anak kami seperti apa sebelum-sebelumnya. Yang orang-orang lihat kan yang sekarang, setelah ia berusia 6-7 tahun. Kami pun reading cukup lama, karena waktu awal-awal Jefan masih agak canggung. Setelah saya belajar menjahit, baru dia reading sama saya.
Jefan adalah anak yang cerdas. Jadinya kami lebih mudah untuk latihan tanpa naskah. Saya kasih tahu dialognya seperti apa; kalau saya bilang begini, dia balesnya bagaimana. Biar tidak terpaku sama naskah, bisa jadi teknis banget soalnya. Chemistry sama Jefan pun perlahan-lahan terbangun. Selain itu, kalau bisa, kami ketemu setiap hari, terus ketemu. Biar dia tidak ragu dan ‘terbiasa’ menganggap saya bapaknya. Dia kan juga punya bapak sendiri.
FI: Apa yang Anda gunakan untuk jadi referensi peran Anda sebagai seorang Bapak?
VB: Saya menonton film-film tentang bapak-anak ya. Cuma, kalau di sini, sosok bapak single-parent cenderung menjadi pengganti ibu. Saya tidak mau seperti itu. Buat saya, bapak adalah bapak; hubungan bapak-anak di sini jadinya antara laki-laki dengan laki-laki. Bapak bertanggung jawab pada anaknya sebagai seorang laki-laki. Saya mau menjaga agar Topan sama Bintang dekatnya itu seperti laki-laki dengan laki-laki. Saya dengan sadar membatasi itu.
Kalau di luar, banyak referensi film bapak-anak, tapi mungkin lebih gampang ketika saya melihat Bapak saya sendiri, bagaimana dia mencoba dekat dengan anak-anaknya. Seperti misalnya cara dia menunjukkan sesuatu itu lewat apa yang dia kerjakan, bukan lewat kata-kata.
Kolaborasi Vino Bastian dan Marsha Timothy dalam Tampan Tailor
Rekan Seprofesi
FI: Di film Madre, Anda bermain dengan Laura Basuki dan aktor-aktris senior seperti Didi Petet dan Titi Qadarsih. Sedangkan di Tampan Tailor, Anda bermain dengan anak kecil. Apakah ada kebiasaan atau cara tertentu untuk membangun chemistry dengan para lawan main?
VB: Dengan banyak ngobrol. Kalau sama Mas Didi, misalnya, karena ceritanya cenderung komedi, maka selalu cerita yang lucu-lucu. Kalau sama Laura, relasi tokohnya dengan tokoh yang saya perankan bukan sebagai pacar. Namun, justru menunjukkan kalau Tansen yang punya ketertarikan sama Mei, dan sebenarnya Mei malah datar-datar saja. Jadi, hubungan Mei dan Tansen memang agak berjarak, cuma memberi pancingan-pancingan.
Reading untuk Madre sekitar sebulan. Kami bertemu, membahas naskah, diskusi bagaimana caranya menyiasati perbedaan apa yang ada di novelet dan di naskah. Ada pergeseran cerita, karakter, semua mengikuti imajinasi sutradara. Ya sudah, ngobrol-ngobrol, memang banyak waktu reading. Kebetulan sama Laura sudah sempat kenal sebelumnya. Kalau sama Jefan di Tampan Tailor, memang saya yang harus menurunkan porsinya, harus lebih banyak mengalah sama dia. Tidak mungkin kan Jefan yang mengikuti saya?
Banyak adegan yang sebenarnya krusial, atau porsinya lebih besar dari yang terlihat di film, tapi ternyata nggak bisa karena terlihat bermain sendiri. Jefan juga masih baru, kalau dipaksakan untuk adegan-adegan yang lebih dramatis atau lebih besar, takutnya malah jadi main sendiri-sendiri dan tidak nyambung. Kasihan si Jefan, dan nantinya bisa nggak bagus juga buat dua-duanya. Jadi, banyak adegan-adegan yang akhirnya masuk film itu sebenarnya cuma titik tengahnya saja. Intinya, bagaimana Topan dan Bintang juga bisa main bareng-bareng. Banyak improvisasi tentunya. Seperti kalau berdasarkah naskah, banyak adegan yang tidak mungkin dimainkan kami berdua, tidak dalam konteks hubungan bapak-anak. Namun, dengan sutradara dan tim yang solid dan kemampuan kami semua, paling tidak apa yang dilihat penonton di layar itu bisa mendekati.
FI: Kalau bermain dengan Marsha Timothy, istri Anda sendiri, di Tampan Tailor?
VB: Banyak yang bilang bahwa main sama Marsha justru tidak perlu ditakutkan. Tidak seperti itu juga sebenarnya, malah kebalikannya, justru itu tantangan paling besar. Bermain dengan Marsha di film sama hubungan kami di luar itu kan beda sekali, ya. Justru malah lebih canggung dan tantangannya lebih berat. Kami jadi semacam punya harapannya yang lebih tinggi terhadap satu sama lain, apalagi perannya di Tampan Tailor juga bukan sebagai suami-istri.
Dalam seni peran, lebih susah diminta berperan jadi diri sendiri daripada disuruh jadi orang gila. Dalam Tampan Tailor juga begitu. Dengan Marsha berperan sebagai Prita, romantismenya juga berbeda kan. Memang pada akhirnya Topan dan Prita bersatu, tapi kan tidak dijelaskan dengan adegan pernikahan atau sejenisnya. Itupun tetap ada batasan tersendiri karena Topan masih punya janji sama istrinya yang dulu. Kalau adegannya terlalu romantis, tokohnya akan hancur sendiri.
Salah satu momen Vino Bastian di Catatan Akhir Sekolah
FI:
Belakangan ini, beberapa orang berpendapat kalau perfilman kita
mengalami krisis keaktoran. Aktor atau aktris yang muncul dalam film
Indonesia itu-itu saja. Sebagai seorang aktor, apa tanggapan Anda
mengenai hal ini?
VB: Setuju, saya setuju banget. Saya merasakannya sendiri sebagai aktor. Film Indonesia belakangan ini mulai bangkit. Namun, walaupun pernah jadi tuan rumah di negeri sendiri, tapi sempat drop lagi. Akhirnya, produser-produser akan membuat film yang mereka sudah tahu pasarannya atau keuntungannya saja. Itu pun belum tentu semua berhasil. Misalnya, ambil dari novel, biografi orang lain, secara tidak langsung kan produser membuat film itu karena ada jaminan penonton. Namun, dalam setahun, ada berapa banyak yang membuat film seperti itu? Berapa banyak dalam satu tahun, film yang membutuhkan aktor dengan karakterisasi tokoh yang berbeda-beda? Pasti cuma sedikit.
Rata-rata, ketika produser melihat seorang aktor sukses di satu jenis film, dia akan dilihat di situ terus. Otomatis buat si aktor, termasuk saya, ketika mendapat tawaran naskah yang banyak, misalnya lima naskah, yang karakternya beda paling cuma satu-dua. Itupun belum tentu pas buat kami. Dari peran itu, bisa saja di-casting lagi dari beberapa aktor. Hal itu yang membuat seorang aktor tidak memiliki banyak kesempatan untuk memainkan film dengan peran-peran berbeda.
Aktor Indonesia itu banyak dan bagus-bagus, tapi kesempatan mereka tidak banyak. Mereka jarang mendapat kesempatan untuk mencoba hal-hal baru. Produser juga cenderung mempercayakan film-filmnya kepada aktor-aktor yang sudah berpengalaman. Jadi, tidak bisa dipungkiri kenapa aktor kita yang main cuma itu-itu saja. Semua kan lewat seleksi. Walaupun aktor-aktor baru bermain bagus, tapi kalau pas seleksi harus diambil yang terbaik, mau tidak mau ya orangnya itu-itu lagi yang main. Jadi, memang selain pilihan peran sebagai aktor yang itu-itu saja dengan cerita yang itu-itu saja, seleksinya jadi sangat ketat. Terbaik pun belum tentu cocok sama perannya. Maksudnya, walaupun dia aktor terbaik di Indonesia, tapi belum tentu cocok memainkan satu peran yang ditawarkan. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
Sekarang, seorang aktor mau main film dengan peran yang berbeda-beda. Siapa yang mau membuatkan filmnya kalau tidak ada? Semua tergantung produser juga. Sekarang tinggal bagaimana, aktor seperti saya, menyiasati untuk mendapatkan peran-peran itu? Nah, saya dari dulu memang ikut membangun cerita di film saya mulai dari Realita, Cinta, dan Rock n Roll; Radit dan Jani; sampai Tampan Tailor. Kesempatan itu yang saya gunakan untuk membantu sedikit mengurangi krisis keaktoran tadi. Selain karena aktornya yang itu-itu saja, orang juga lama-lama akan bosan karena aktor yang sama main cerita yang sama pula.
FI: Belakangan, banyak juga aktor atau aktris yang terlibat di balik layar. Mendengar cerita dan pendapat Anda, apakah Anda tidak tertarik untuk memproduksi film sendiri dan terlibat di balik layar?
VB: Kalau sampai sekarang, saya masih ingin memperbaiki akting saya di depan layar dulu. Banyak yang masih harus saya perbaiki, dan banyak sutradara yang saya belum kerja bareng, dan banyak juga peran-peran yang belum saya mainkan.
Untuk menyutradarai, ada keinginan. Namun, untuk sekarang, saya lebih senang membangun karakter tokoh dan ceritanya. Jadi, ada beberapa film yang saya bantu pengembangan naskahnya dan saya senang di situ. Sekarang juga lagi coba-coba menulis. Mungkin suatu saat bisa mulai menyutradarai. Namun untuk saat ini, maunya fokus dulu. Kecuali kalau sudah mentok, maksudnya, kalau semua peran sudah pernah dimainkan. Tapi sampai kapan? Saya juga tidak tahu. Selalu ada keinginan untuk mencapai lebih dan lebih lagi. Jadi, mau lebih total di depan layar dulu, tapi tidak menutup kemungkinan bakal main di belakang layar juga.
Adegan ikonik dalam Radit dan Jani
Karier
FI: Karier Anda sekarang sudah berumur sepuluh tahun. Dalam periode waktu itu, Anda terlibat dalam sekian film dan sekitar 45 FTV (film televisi). Setiap tahunnya, ada dua film Anda yang dirilis. Namun, antara 2010 dan 2012, tak ada satu pun film Anda yang beredar. Bagaimana sebenarnya Anda membagi waktu antara film dan televisi? Apakah Anda menjadikan FTV sebagai tempat latihan berakting untuk ke film atau bagaimana?
VB: Sepanjang dua tahun pas film saya tidak ada yang edar itu, saya sebenarnya sedang syuting. Tapi, filmnya tidak ada yang keluar. Memang, di jeda dua tahun itu, saya juga ambil banyak FTV. Buat saya, mau main di mana pun, usahanya harus tetap maksimal. Banyak orang juga yang tanya saya ambil FTV. Namun, buat saya pribadi, saya bisa berlatih akting, bisa berganti peran dengan macam-macam karakter. Lalu, waktu syutingnya lebih sebentar, dibanding mengambil satu sinetron panjang. Ini jadi tantangan tersendiri buat saya, karena saya orangnya lambat panas. Maksudnya, kalau dapat satu peran, saya tidak bisa langsung ‘panas’ untuk masuk ke tokohnya.
Saya pernah ambil sinetron panjang. Saya penasaran, saya mau coba dan ternyata agak sedikit membosankan buat saya sendiri. Ternyata untuk mempertahankan tokoh di satu sinetron panjang itu tidak mudah. Di tengah-tengah, di sekitar puluhan episode, saya mulai merasa bosan. Tantangannya tinggal bagaimana iar saya bisa konsisten di situ kan? Terakhir, di Calon Bini, untuk mengembangkan karakter orang bodoh seperti itu, di episode ke sekian itu sudah sangat membosankan. Saya harus bertahan, membuat improvisasi-improvisasi lain. Sementara, untuk naskah di sinetron itu, kita sama-sama tahu bagaimana parahnya. Namun, orang kan tidak mau tahu itu. Yang penting adalah apa yang mereka lihat di layar.
Idealisme saya adalah saya mau coba sesuatu yang belum pernah saya coba. Misalnya, terlibat di teater, tapi sampai sekarang belum dapat kesempatan main di teater yang besar. Tapi, kalau anak-anak Institut Kesenian Jakarta lagi ujian teater atau buat film pendek, saya sering ikutan. Itu kesempatan yang bagus buat saya untuk coba-coba. Di FTV pun juga demikian. Seperti yang saya bilang tadi, di Indonesia, ketika satu aktor sudah sukses main satu jenis peran, produser akan ingatnya sosok itu terus. Dulu cuma di sinetron seperti itu, sekarang di film pun begitu.
Nah, itu juga salah satu faktor kenapa saya menghilang selama dua tahun itu, karena rata-rata peran yang ditawarkan ya itu-itu saja. Akhirnya, saya mengambil film yang menawarkan peran yang berbeda . Contohnya film Mas Ifa [Isfansyah], Rumah dan Musim Hujan, tapi ternyata filmnya belum beredar di sini. Lalu, ada Tampan Tailor dengan peran penjahit, atau film lain lagi, Air Mata Terakhir Bunda. Buat saya, itu peran-peran yang menantang. Selama dua tahun itu, saya mau kasih yang berbeda, tapi ternyata filmnya belum keluar. Mungkin, itulah kenapa orang berpikir saya menghilang dan sibuk di FTV. Orang tidak tahu kalau sebenernya saya juga main film. Tahu-tahu saja film-film itu banyak yang dirilis tahun ini. Itu di luar kuasa saya.
FI: Termasuk Madre dan Tampan Tailor yang akhirnya beredar di hari yang sama?
VB: Iya. Buat saya pribadi, dengan perkembangan film Indonesia sekarang, idealnya keluarin film satu-satu. Biar penonton juga fokus memilih film yang ingin ditonton. Saya sendiri, paling mentok, seminggu nonton film bioskop dua kali. Pertama, soal waktu. Kedua, kadang-kadang kita butuh jeda untuk refresh setelah nonton satu film. Saya termasuk orang yang suka ‘terbawa’ lama setelah nonton suatu film.
Sekarang tiket bioskop juga sudah naik. Misalkan, penggemar saya nonton antara Madre atau Tampan Tailor duluan, lalu dia tidak suka dan tidak nonton film satunya, ya wajar-wajar saja tapi kasihan kan film yang satu. Saya juga tidak bisa memaksa dia untuk nonton yang satunya lagi. Itulah yang saya sayangkan, kenapa harus rilis dua film sekaligus. Tapi saya ambil positifnya saja. Di bulan film nasional, saya bisa menyumbang dua film untuk masyarakat Indonesia. Jadi kebanggaan tersendiri. Di luar itu, sudah masalah bisnis ya, di luar kuasa saya.
FI: Anda tadi bilang Anda lambat panas untuk berganti peran. Idealnya, berapa waktu yang Anda butuhkan untuk persiapan atau reading?
VB: Dulu, reading itu bisa 1 sampai 1.5 bulan. Cuma, makin lama makin ke sini, waktu reading makin singkat, waktu syuting juga makin singkat. Pas produksi In the Name of Love, waktu reading lama banget, tapi waktu syutingnya singkat. Ternyata tidak efektif juga. Kami sudah reading mati-matian, penggarapannya malah singkat. Ada lagi yang mendingan: waktu reading singkat, waktu syutingnya lama. Jadi, kita masih bisa belajar lagi di lapangan. Nah, kalau sekarang, waktu reading dan syuting sama-sama singkat. Itu bagaimana caranya masing-masing aktor untuk bisa masuk ke dalam tokoh yang ia perankan dengan cepat. Nah, itu jadi tantangan bagi saya yang lambat panas ini.
Kalau ada yang bilang “aktor ini bagus karena fokus di film” atau “yang ini main FTV melulu”, ya kan setiap orang punya kepentingan beda-beda. Mungkin dia sudah cukup hebat dengan main satu film tahun ini, lalu main lagi tahun depan, tapi kualitasnya terjaga terus. Mungkin dia sudah sehebat itu dan saya belum sehebat itu. Saya masih butuh latihan terus dan nonton film yang banyak.
FI: Anda memilih untuk berada di bawah naungan satu agensi. Apakah agensi ini bertugas mencari tawaran bermain film tadi atau pemilihan peran langsung di tangan Anda?
VB: Tetap tergantung saya, agensi ini hanya manajerial saja. Manajemen saya itu bukan ke pemilihan peran. Beda kalau misalnya di luar, mungkin lebih seperti itu. Kalau di sini, manajer ini adalah orang yang mengurus keuangan, administrasi, tapi semuanya balik ke saya. Manajer yang bagus bisa jadi tempat diskusi juga kan?
Seperti sekarang, saya sama Sulung. Dia kebetulan juga mulai memproduksi film. Jadi, ketika ada tawaran film, dia juga membantu memberikan masukan. Filmnya seperti ini, ini, ini. Kalau dia jadi penonton, dia akan lebih memilih yang ini. Nah, pertimbangan-pertimbangan seperti itu sih yang bagus buat saya.
Salah satu adegan Realita, Cinta, dan Rock n Roll
FI: Apa pertimbangan Anda dalam memilih peran?VB: Saya main film juga baru sedikit, masih banyak peran yang belum dimainkan. Kalau di Madre, saya senang karena saya juga senang kuliner. Meskipun soal pembuatan rotinya hanya jadi background, buat saya itu juga sesuatu yang baru buat akting saya. Sebagai surfer juga. Dulu, waktu di Badai Pasti Berlalu pernah jadi surfer tapi tidak ada adegan surfing. Kalau di sini, seru karena ada adegan surfing yang diambil, walaupun yang diambil juga pas saya lagi jatuh. (Tertawa) Lumayan, menambah pengalaman. Kalau nanti ada adegan surfing lagi, ya jadi punya pengalaman. Atau jadi punya teman-teman nongkrong anak-anak surfer di sana.
Pertama kali mendapat tawaran jadi tukang jahit, saya diceritakan terlebih dahulu tentang biografi Harry Palmer, inspirasi film Tampan Tailor. Dia memang seorang pejuang. Dulu punya toko jahit, sama seperti Topan, tapi kalau toko beliau hancurnya karena kerusuhan. Akhirnya bertemu dengan Pak Harry, ngobrol, beliau cerita tentang perjuangannya, cerita yang sampai bikin saya berkaca-kaca. Juga cerita dia tentang hubungannya dengan anaknya. Anak dia perempuan. Toko jasnya tidak terlalu besar, tapi dia bisa menyekolahkan anaknya. Itu yang membuat saya tertarik ambil bagian di Tampan Tailor.
Kalau secara keseluruhan, sebenarnya awal-awal main film kan seperti hobi, sesuatu yang disenangi. Jadi, kalau saya mengambil film, ya pertama-tama, saya suka dulu sama filmnya, sama ceritanya, sama karakter tokohnya. Setelah dari situ, saya baru melihat kalau tidak bisa cuma karena suka saja, tapi perlu tantangan lain. Seperti, mencari karakter yang berbeda, yang benar-benar beda, bahkan ekstrim. Ekstrim bedanya, bukan ekstrim karakternya. Beda dengan kehidupan saya, maksudnya.
Memang, pas awal-awal main film, saya tertarik sekali dengan cerita anak muda. Kenapa? Karena, sebagai anak muda, saya bisa membantu menyuarakan suara-suara mereka lewat film. Kalau orang lain lewat musik atau olahraga, saya lewat film. Tema-tema anak muda inilah yang kebanyakan saya pilih. Misi awal saya ya dari situ: ingin menyuarakan aspirasi anak muda. Ternyata, apa yang saya lakukan bisa dibilang berhasil. Anak muda sekarang kan tidak hanya pergi-pulang sekolah. Mereka juga kreatif, pintar, tahu apa yang mereka lakukan, dan tidak bisa dikekang. Jadi, jangan pernah membatasi ekspresi dan imajinasi mereka. Itu sebenarnya misi kecil yang saya mau sampaikan lewat film-film saya.
Mungkin nanti juga ada tawaran film yang perannya sudah pernah saya mainkan sebelumnya, termasuk peran sebagai anak muda. Buat saya, itu bukan pengulangan atau saya terjebak di peran itu-itu saja. Memang saya masih mau main lagi dan kasih film dengan tema-tema seperti itu lagi. Setelah beberapa film yang saya mainkan, saya sadar kalau film Indonesia makin banyak, baik jenis maupun peran-perannya. Tapi, kok yang membuat film tentang anak muda malah tidak ada lagi, ya? Seperti berhenti. Jenis film yang lain makin banyak, yang ini malah tidak ada. Termasuk ketika saya talkshow atau off-air, banyak juga anak muda yang mempertanyakan hal yang sama. Padahal menurut saya, bisa kok membuat film seperti itu lagi, jadi motivasi-motivasinya tidak hilang. Jadi, ya itu sih semangat dan misi yang saya pegang.
Film yang mengangkat perjuangan dan aspirasi anak muda tidak akan berhenti dibutuhkan. Sama seperti setiap pembuat film yang punya misinya masing-masing: ada yang mau membuat film horor bagus, drama bagus. Nah, mumpung saya masih muda, ya kenapa tidak? Ketika masanya masih ada dan secara fisik masih bisa, saya manfaatkan. Apalagi sebelumnya saya main band. Waktu itu pun, lagu-lagu yang kami buat itu untuk menyampaikan aspirasi anak muda. Biasanya untuk menunjukkan bahwa orang yang lebih tua bukan berarti lebih tahu atau pintar dari anak muda sekarang, tapi bukan berarti yang lebih tua juga salah.
FI: Bapak Anda, Bastian Tito, merupakan penulis kisah Wiro Sableng yang tersohor itu. Apakah kepengarangan beliau termasuk yang mempengaruhi Anda untuk terjun ke dunia seni, khususnya film?
VB: Sebenarnya tidak ada. Beliau kan yang menulis bukunya, bukan yang membut film atau sinetron Wiro Sableng. Dia penulis novel saja. Kalau misalnya berhubungan dengan novel itu, saya tidak terpengaruh dari situ. Selama beliau masih hidup, saya sendiri tidak baca bukunya tuntas. Mungkin karena saya lebih senang baca buku-buku bergambar. Makanya, saya lebih suka film daripada novel, karena lebih senang melihat gambar. Saya malah tahu ceritanya karena beliau cerita langsung ke saya.
Belakangan ini, seperti yang tadi saya ceritakan, saya mulai senang ikut membangun cerita atau script development. Mungkin, secara tidak langsung, itu yang saya dapat dari beliau. Jadi, kenapa sekarang mulai senang membangun cerita film dan sebagainya, mungkin secara tidak langsung ada darahnya mengalir dari situ. (Tertawa) Itu jadi satu keuntungan ya, tapi bukan karena menebeng nama besar Ayah. Doakan saja ada filmnya lagi, karena yang kemarin-kemarin itu kan dibuat tanpa berurusan dengan Almarhum Ayah. Kalau dibuat filmnya lagi, ini jadi film pertama beliau.
FI: Apakah peran menjadi bapak di Tampan Tailor jadi salah satu upaya untuk melepaskan dari sosok bad boy tadi?
VB: Kalau yang di Tampan Tailor, itu karakter yang memang harus saya ciptakan sendiri ya. Kalau di Madre, kalau kita baca bukunya, Tansen memang seperti itu. Dia sudah ada benang merah ceritanya. Jadi, saya tak bisa terlalu banyak berimprovisasi terhadap Tansen.
Tampan Tailor jadi makin menarik, karena Jefan [Nathanio] belum pernah main film sebelumnya. Saya juga belum punya anak, sedangkan di film ini si anak sudah berusia enam tahun. Otomatis, kami harus menceritakan dan menjelaskan hubungan bapak-anak kami seperti apa sebelum-sebelumnya. Yang orang-orang lihat kan yang sekarang, setelah ia berusia 6-7 tahun. Kami pun reading cukup lama, karena waktu awal-awal Jefan masih agak canggung. Setelah saya belajar menjahit, baru dia reading sama saya.
Jefan adalah anak yang cerdas. Jadinya kami lebih mudah untuk latihan tanpa naskah. Saya kasih tahu dialognya seperti apa; kalau saya bilang begini, dia balesnya bagaimana. Biar tidak terpaku sama naskah, bisa jadi teknis banget soalnya. Chemistry sama Jefan pun perlahan-lahan terbangun. Selain itu, kalau bisa, kami ketemu setiap hari, terus ketemu. Biar dia tidak ragu dan ‘terbiasa’ menganggap saya bapaknya. Dia kan juga punya bapak sendiri.
FI: Apa yang Anda gunakan untuk jadi referensi peran Anda sebagai seorang Bapak?
VB: Saya menonton film-film tentang bapak-anak ya. Cuma, kalau di sini, sosok bapak single-parent cenderung menjadi pengganti ibu. Saya tidak mau seperti itu. Buat saya, bapak adalah bapak; hubungan bapak-anak di sini jadinya antara laki-laki dengan laki-laki. Bapak bertanggung jawab pada anaknya sebagai seorang laki-laki. Saya mau menjaga agar Topan sama Bintang dekatnya itu seperti laki-laki dengan laki-laki. Saya dengan sadar membatasi itu.
Kalau di luar, banyak referensi film bapak-anak, tapi mungkin lebih gampang ketika saya melihat Bapak saya sendiri, bagaimana dia mencoba dekat dengan anak-anaknya. Seperti misalnya cara dia menunjukkan sesuatu itu lewat apa yang dia kerjakan, bukan lewat kata-kata.

FI: Di film Madre, Anda bermain dengan Laura Basuki dan aktor-aktris senior seperti Didi Petet dan Titi Qadarsih. Sedangkan di Tampan Tailor, Anda bermain dengan anak kecil. Apakah ada kebiasaan atau cara tertentu untuk membangun chemistry dengan para lawan main?
VB: Dengan banyak ngobrol. Kalau sama Mas Didi, misalnya, karena ceritanya cenderung komedi, maka selalu cerita yang lucu-lucu. Kalau sama Laura, relasi tokohnya dengan tokoh yang saya perankan bukan sebagai pacar. Namun, justru menunjukkan kalau Tansen yang punya ketertarikan sama Mei, dan sebenarnya Mei malah datar-datar saja. Jadi, hubungan Mei dan Tansen memang agak berjarak, cuma memberi pancingan-pancingan.
Reading untuk Madre sekitar sebulan. Kami bertemu, membahas naskah, diskusi bagaimana caranya menyiasati perbedaan apa yang ada di novelet dan di naskah. Ada pergeseran cerita, karakter, semua mengikuti imajinasi sutradara. Ya sudah, ngobrol-ngobrol, memang banyak waktu reading. Kebetulan sama Laura sudah sempat kenal sebelumnya. Kalau sama Jefan di Tampan Tailor, memang saya yang harus menurunkan porsinya, harus lebih banyak mengalah sama dia. Tidak mungkin kan Jefan yang mengikuti saya?
Banyak adegan yang sebenarnya krusial, atau porsinya lebih besar dari yang terlihat di film, tapi ternyata nggak bisa karena terlihat bermain sendiri. Jefan juga masih baru, kalau dipaksakan untuk adegan-adegan yang lebih dramatis atau lebih besar, takutnya malah jadi main sendiri-sendiri dan tidak nyambung. Kasihan si Jefan, dan nantinya bisa nggak bagus juga buat dua-duanya. Jadi, banyak adegan-adegan yang akhirnya masuk film itu sebenarnya cuma titik tengahnya saja. Intinya, bagaimana Topan dan Bintang juga bisa main bareng-bareng. Banyak improvisasi tentunya. Seperti kalau berdasarkah naskah, banyak adegan yang tidak mungkin dimainkan kami berdua, tidak dalam konteks hubungan bapak-anak. Namun, dengan sutradara dan tim yang solid dan kemampuan kami semua, paling tidak apa yang dilihat penonton di layar itu bisa mendekati.
FI: Kalau bermain dengan Marsha Timothy, istri Anda sendiri, di Tampan Tailor?
VB: Banyak yang bilang bahwa main sama Marsha justru tidak perlu ditakutkan. Tidak seperti itu juga sebenarnya, malah kebalikannya, justru itu tantangan paling besar. Bermain dengan Marsha di film sama hubungan kami di luar itu kan beda sekali, ya. Justru malah lebih canggung dan tantangannya lebih berat. Kami jadi semacam punya harapannya yang lebih tinggi terhadap satu sama lain, apalagi perannya di Tampan Tailor juga bukan sebagai suami-istri.
Dalam seni peran, lebih susah diminta berperan jadi diri sendiri daripada disuruh jadi orang gila. Dalam Tampan Tailor juga begitu. Dengan Marsha berperan sebagai Prita, romantismenya juga berbeda kan. Memang pada akhirnya Topan dan Prita bersatu, tapi kan tidak dijelaskan dengan adegan pernikahan atau sejenisnya. Itupun tetap ada batasan tersendiri karena Topan masih punya janji sama istrinya yang dulu. Kalau adegannya terlalu romantis, tokohnya akan hancur sendiri.

VB: Setuju, saya setuju banget. Saya merasakannya sendiri sebagai aktor. Film Indonesia belakangan ini mulai bangkit. Namun, walaupun pernah jadi tuan rumah di negeri sendiri, tapi sempat drop lagi. Akhirnya, produser-produser akan membuat film yang mereka sudah tahu pasarannya atau keuntungannya saja. Itu pun belum tentu semua berhasil. Misalnya, ambil dari novel, biografi orang lain, secara tidak langsung kan produser membuat film itu karena ada jaminan penonton. Namun, dalam setahun, ada berapa banyak yang membuat film seperti itu? Berapa banyak dalam satu tahun, film yang membutuhkan aktor dengan karakterisasi tokoh yang berbeda-beda? Pasti cuma sedikit.
Rata-rata, ketika produser melihat seorang aktor sukses di satu jenis film, dia akan dilihat di situ terus. Otomatis buat si aktor, termasuk saya, ketika mendapat tawaran naskah yang banyak, misalnya lima naskah, yang karakternya beda paling cuma satu-dua. Itupun belum tentu pas buat kami. Dari peran itu, bisa saja di-casting lagi dari beberapa aktor. Hal itu yang membuat seorang aktor tidak memiliki banyak kesempatan untuk memainkan film dengan peran-peran berbeda.
Aktor Indonesia itu banyak dan bagus-bagus, tapi kesempatan mereka tidak banyak. Mereka jarang mendapat kesempatan untuk mencoba hal-hal baru. Produser juga cenderung mempercayakan film-filmnya kepada aktor-aktor yang sudah berpengalaman. Jadi, tidak bisa dipungkiri kenapa aktor kita yang main cuma itu-itu saja. Semua kan lewat seleksi. Walaupun aktor-aktor baru bermain bagus, tapi kalau pas seleksi harus diambil yang terbaik, mau tidak mau ya orangnya itu-itu lagi yang main. Jadi, memang selain pilihan peran sebagai aktor yang itu-itu saja dengan cerita yang itu-itu saja, seleksinya jadi sangat ketat. Terbaik pun belum tentu cocok sama perannya. Maksudnya, walaupun dia aktor terbaik di Indonesia, tapi belum tentu cocok memainkan satu peran yang ditawarkan. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
Sekarang, seorang aktor mau main film dengan peran yang berbeda-beda. Siapa yang mau membuatkan filmnya kalau tidak ada? Semua tergantung produser juga. Sekarang tinggal bagaimana, aktor seperti saya, menyiasati untuk mendapatkan peran-peran itu? Nah, saya dari dulu memang ikut membangun cerita di film saya mulai dari Realita, Cinta, dan Rock n Roll; Radit dan Jani; sampai Tampan Tailor. Kesempatan itu yang saya gunakan untuk membantu sedikit mengurangi krisis keaktoran tadi. Selain karena aktornya yang itu-itu saja, orang juga lama-lama akan bosan karena aktor yang sama main cerita yang sama pula.
FI: Belakangan, banyak juga aktor atau aktris yang terlibat di balik layar. Mendengar cerita dan pendapat Anda, apakah Anda tidak tertarik untuk memproduksi film sendiri dan terlibat di balik layar?
VB: Kalau sampai sekarang, saya masih ingin memperbaiki akting saya di depan layar dulu. Banyak yang masih harus saya perbaiki, dan banyak sutradara yang saya belum kerja bareng, dan banyak juga peran-peran yang belum saya mainkan.
Untuk menyutradarai, ada keinginan. Namun, untuk sekarang, saya lebih senang membangun karakter tokoh dan ceritanya. Jadi, ada beberapa film yang saya bantu pengembangan naskahnya dan saya senang di situ. Sekarang juga lagi coba-coba menulis. Mungkin suatu saat bisa mulai menyutradarai. Namun untuk saat ini, maunya fokus dulu. Kecuali kalau sudah mentok, maksudnya, kalau semua peran sudah pernah dimainkan. Tapi sampai kapan? Saya juga tidak tahu. Selalu ada keinginan untuk mencapai lebih dan lebih lagi. Jadi, mau lebih total di depan layar dulu, tapi tidak menutup kemungkinan bakal main di belakang layar juga.

FI: Karier Anda sekarang sudah berumur sepuluh tahun. Dalam periode waktu itu, Anda terlibat dalam sekian film dan sekitar 45 FTV (film televisi). Setiap tahunnya, ada dua film Anda yang dirilis. Namun, antara 2010 dan 2012, tak ada satu pun film Anda yang beredar. Bagaimana sebenarnya Anda membagi waktu antara film dan televisi? Apakah Anda menjadikan FTV sebagai tempat latihan berakting untuk ke film atau bagaimana?
VB: Sepanjang dua tahun pas film saya tidak ada yang edar itu, saya sebenarnya sedang syuting. Tapi, filmnya tidak ada yang keluar. Memang, di jeda dua tahun itu, saya juga ambil banyak FTV. Buat saya, mau main di mana pun, usahanya harus tetap maksimal. Banyak orang juga yang tanya saya ambil FTV. Namun, buat saya pribadi, saya bisa berlatih akting, bisa berganti peran dengan macam-macam karakter. Lalu, waktu syutingnya lebih sebentar, dibanding mengambil satu sinetron panjang. Ini jadi tantangan tersendiri buat saya, karena saya orangnya lambat panas. Maksudnya, kalau dapat satu peran, saya tidak bisa langsung ‘panas’ untuk masuk ke tokohnya.
Saya pernah ambil sinetron panjang. Saya penasaran, saya mau coba dan ternyata agak sedikit membosankan buat saya sendiri. Ternyata untuk mempertahankan tokoh di satu sinetron panjang itu tidak mudah. Di tengah-tengah, di sekitar puluhan episode, saya mulai merasa bosan. Tantangannya tinggal bagaimana iar saya bisa konsisten di situ kan? Terakhir, di Calon Bini, untuk mengembangkan karakter orang bodoh seperti itu, di episode ke sekian itu sudah sangat membosankan. Saya harus bertahan, membuat improvisasi-improvisasi lain. Sementara, untuk naskah di sinetron itu, kita sama-sama tahu bagaimana parahnya. Namun, orang kan tidak mau tahu itu. Yang penting adalah apa yang mereka lihat di layar.
Idealisme saya adalah saya mau coba sesuatu yang belum pernah saya coba. Misalnya, terlibat di teater, tapi sampai sekarang belum dapat kesempatan main di teater yang besar. Tapi, kalau anak-anak Institut Kesenian Jakarta lagi ujian teater atau buat film pendek, saya sering ikutan. Itu kesempatan yang bagus buat saya untuk coba-coba. Di FTV pun juga demikian. Seperti yang saya bilang tadi, di Indonesia, ketika satu aktor sudah sukses main satu jenis peran, produser akan ingatnya sosok itu terus. Dulu cuma di sinetron seperti itu, sekarang di film pun begitu.
Nah, itu juga salah satu faktor kenapa saya menghilang selama dua tahun itu, karena rata-rata peran yang ditawarkan ya itu-itu saja. Akhirnya, saya mengambil film yang menawarkan peran yang berbeda . Contohnya film Mas Ifa [Isfansyah], Rumah dan Musim Hujan, tapi ternyata filmnya belum beredar di sini. Lalu, ada Tampan Tailor dengan peran penjahit, atau film lain lagi, Air Mata Terakhir Bunda. Buat saya, itu peran-peran yang menantang. Selama dua tahun itu, saya mau kasih yang berbeda, tapi ternyata filmnya belum keluar. Mungkin, itulah kenapa orang berpikir saya menghilang dan sibuk di FTV. Orang tidak tahu kalau sebenernya saya juga main film. Tahu-tahu saja film-film itu banyak yang dirilis tahun ini. Itu di luar kuasa saya.
FI: Termasuk Madre dan Tampan Tailor yang akhirnya beredar di hari yang sama?
VB: Iya. Buat saya pribadi, dengan perkembangan film Indonesia sekarang, idealnya keluarin film satu-satu. Biar penonton juga fokus memilih film yang ingin ditonton. Saya sendiri, paling mentok, seminggu nonton film bioskop dua kali. Pertama, soal waktu. Kedua, kadang-kadang kita butuh jeda untuk refresh setelah nonton satu film. Saya termasuk orang yang suka ‘terbawa’ lama setelah nonton suatu film.
Sekarang tiket bioskop juga sudah naik. Misalkan, penggemar saya nonton antara Madre atau Tampan Tailor duluan, lalu dia tidak suka dan tidak nonton film satunya, ya wajar-wajar saja tapi kasihan kan film yang satu. Saya juga tidak bisa memaksa dia untuk nonton yang satunya lagi. Itulah yang saya sayangkan, kenapa harus rilis dua film sekaligus. Tapi saya ambil positifnya saja. Di bulan film nasional, saya bisa menyumbang dua film untuk masyarakat Indonesia. Jadi kebanggaan tersendiri. Di luar itu, sudah masalah bisnis ya, di luar kuasa saya.
FI: Anda tadi bilang Anda lambat panas untuk berganti peran. Idealnya, berapa waktu yang Anda butuhkan untuk persiapan atau reading?
VB: Dulu, reading itu bisa 1 sampai 1.5 bulan. Cuma, makin lama makin ke sini, waktu reading makin singkat, waktu syuting juga makin singkat. Pas produksi In the Name of Love, waktu reading lama banget, tapi waktu syutingnya singkat. Ternyata tidak efektif juga. Kami sudah reading mati-matian, penggarapannya malah singkat. Ada lagi yang mendingan: waktu reading singkat, waktu syutingnya lama. Jadi, kita masih bisa belajar lagi di lapangan. Nah, kalau sekarang, waktu reading dan syuting sama-sama singkat. Itu bagaimana caranya masing-masing aktor untuk bisa masuk ke dalam tokoh yang ia perankan dengan cepat. Nah, itu jadi tantangan bagi saya yang lambat panas ini.
Kalau ada yang bilang “aktor ini bagus karena fokus di film” atau “yang ini main FTV melulu”, ya kan setiap orang punya kepentingan beda-beda. Mungkin dia sudah cukup hebat dengan main satu film tahun ini, lalu main lagi tahun depan, tapi kualitasnya terjaga terus. Mungkin dia sudah sehebat itu dan saya belum sehebat itu. Saya masih butuh latihan terus dan nonton film yang banyak.
FI: Anda memilih untuk berada di bawah naungan satu agensi. Apakah agensi ini bertugas mencari tawaran bermain film tadi atau pemilihan peran langsung di tangan Anda?
VB: Tetap tergantung saya, agensi ini hanya manajerial saja. Manajemen saya itu bukan ke pemilihan peran. Beda kalau misalnya di luar, mungkin lebih seperti itu. Kalau di sini, manajer ini adalah orang yang mengurus keuangan, administrasi, tapi semuanya balik ke saya. Manajer yang bagus bisa jadi tempat diskusi juga kan?
Seperti sekarang, saya sama Sulung. Dia kebetulan juga mulai memproduksi film. Jadi, ketika ada tawaran film, dia juga membantu memberikan masukan. Filmnya seperti ini, ini, ini. Kalau dia jadi penonton, dia akan lebih memilih yang ini. Nah, pertimbangan-pertimbangan seperti itu sih yang bagus buat saya.

Pertama kali mendapat tawaran jadi tukang jahit, saya diceritakan terlebih dahulu tentang biografi Harry Palmer, inspirasi film Tampan Tailor. Dia memang seorang pejuang. Dulu punya toko jahit, sama seperti Topan, tapi kalau toko beliau hancurnya karena kerusuhan. Akhirnya bertemu dengan Pak Harry, ngobrol, beliau cerita tentang perjuangannya, cerita yang sampai bikin saya berkaca-kaca. Juga cerita dia tentang hubungannya dengan anaknya. Anak dia perempuan. Toko jasnya tidak terlalu besar, tapi dia bisa menyekolahkan anaknya. Itu yang membuat saya tertarik ambil bagian di Tampan Tailor.
Kalau secara keseluruhan, sebenarnya awal-awal main film kan seperti hobi, sesuatu yang disenangi. Jadi, kalau saya mengambil film, ya pertama-tama, saya suka dulu sama filmnya, sama ceritanya, sama karakter tokohnya. Setelah dari situ, saya baru melihat kalau tidak bisa cuma karena suka saja, tapi perlu tantangan lain. Seperti, mencari karakter yang berbeda, yang benar-benar beda, bahkan ekstrim. Ekstrim bedanya, bukan ekstrim karakternya. Beda dengan kehidupan saya, maksudnya.
Memang, pas awal-awal main film, saya tertarik sekali dengan cerita anak muda. Kenapa? Karena, sebagai anak muda, saya bisa membantu menyuarakan suara-suara mereka lewat film. Kalau orang lain lewat musik atau olahraga, saya lewat film. Tema-tema anak muda inilah yang kebanyakan saya pilih. Misi awal saya ya dari situ: ingin menyuarakan aspirasi anak muda. Ternyata, apa yang saya lakukan bisa dibilang berhasil. Anak muda sekarang kan tidak hanya pergi-pulang sekolah. Mereka juga kreatif, pintar, tahu apa yang mereka lakukan, dan tidak bisa dikekang. Jadi, jangan pernah membatasi ekspresi dan imajinasi mereka. Itu sebenarnya misi kecil yang saya mau sampaikan lewat film-film saya.
Mungkin nanti juga ada tawaran film yang perannya sudah pernah saya mainkan sebelumnya, termasuk peran sebagai anak muda. Buat saya, itu bukan pengulangan atau saya terjebak di peran itu-itu saja. Memang saya masih mau main lagi dan kasih film dengan tema-tema seperti itu lagi. Setelah beberapa film yang saya mainkan, saya sadar kalau film Indonesia makin banyak, baik jenis maupun peran-perannya. Tapi, kok yang membuat film tentang anak muda malah tidak ada lagi, ya? Seperti berhenti. Jenis film yang lain makin banyak, yang ini malah tidak ada. Termasuk ketika saya talkshow atau off-air, banyak juga anak muda yang mempertanyakan hal yang sama. Padahal menurut saya, bisa kok membuat film seperti itu lagi, jadi motivasi-motivasinya tidak hilang. Jadi, ya itu sih semangat dan misi yang saya pegang.
Film yang mengangkat perjuangan dan aspirasi anak muda tidak akan berhenti dibutuhkan. Sama seperti setiap pembuat film yang punya misinya masing-masing: ada yang mau membuat film horor bagus, drama bagus. Nah, mumpung saya masih muda, ya kenapa tidak? Ketika masanya masih ada dan secara fisik masih bisa, saya manfaatkan. Apalagi sebelumnya saya main band. Waktu itu pun, lagu-lagu yang kami buat itu untuk menyampaikan aspirasi anak muda. Biasanya untuk menunjukkan bahwa orang yang lebih tua bukan berarti lebih tahu atau pintar dari anak muda sekarang, tapi bukan berarti yang lebih tua juga salah.
FI: Bapak Anda, Bastian Tito, merupakan penulis kisah Wiro Sableng yang tersohor itu. Apakah kepengarangan beliau termasuk yang mempengaruhi Anda untuk terjun ke dunia seni, khususnya film?
VB: Sebenarnya tidak ada. Beliau kan yang menulis bukunya, bukan yang membut film atau sinetron Wiro Sableng. Dia penulis novel saja. Kalau misalnya berhubungan dengan novel itu, saya tidak terpengaruh dari situ. Selama beliau masih hidup, saya sendiri tidak baca bukunya tuntas. Mungkin karena saya lebih senang baca buku-buku bergambar. Makanya, saya lebih suka film daripada novel, karena lebih senang melihat gambar. Saya malah tahu ceritanya karena beliau cerita langsung ke saya.
Belakangan ini, seperti yang tadi saya ceritakan, saya mulai senang ikut membangun cerita atau script development. Mungkin, secara tidak langsung, itu yang saya dapat dari beliau. Jadi, kenapa sekarang mulai senang membangun cerita film dan sebagainya, mungkin secara tidak langsung ada darahnya mengalir dari situ. (Tertawa) Itu jadi satu keuntungan ya, tapi bukan karena menebeng nama besar Ayah. Doakan saja ada filmnya lagi, karena yang kemarin-kemarin itu kan dibuat tanpa berurusan dengan Almarhum Ayah. Kalau dibuat filmnya lagi, ini jadi film pertama beliau.

Adrian Jonathan Pasaribu
Jurnalis filmindonesia.or.id, pengurus harian Cinema Poetica. Programmer Kinoki dari tahun 2007 sampai 2010, penonton film dari kecil sampai sekarang.

Amalia Sekarjati
Jurnalis filmindonesia.or.id dan publisis Kineforum, lulusan Universitas Multimedia Nusantara,

Advent Bangun, karateka Dan II, mulai berlakon dalam Rajawali Sakti (1976). Dia jadi populer dan berlanjut hingga 1996 (56 film).
Artikel terbaru

Langganan:
Postingan (Atom)
Komentar